Tema “Yogyakarta Menyongsong Peradaban Baru” muncul dalam gelaran Dialog Budaya dan Gelar Seni “YogyaSemesta” seri 53 di Pringgitan Wetan Wiyatapraja, Kompleks Kepatihan Danurejan, Yogyakarta, Rabu (3/10).
Hadir tiga nara sumber dalam dialog budaya tersebut. Mereka adalah Kyai H.M. Jazir ASP, Pengasuh Pondok Pesantren “Abdullah Ibnu Abbas”, Grojogan, Tamanan, Banguntapan, Bantul, Rama Pastur Dr. Gregorius Subanar, SJ, Pakar Sejarah & Kepala LPPM Universitas “Sanata Dharma”, dan Dr. Lono Lastoro Simatupang, Staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas “Gadjah Mada”.
Berikut wacana pengantar dialog budaya yang ditulis pengasuh Dialog Budaya dan Gelar Seni “YogyaSemesta” seri -53 oleh Heri Dendi, pengasuh kegiatan:
Dengan memilih topik “Yogyakarta Menyongsong Peradaban Baru” dimaksudkan mengajak masyarakat Merespon visi misi Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam membangun Keistimewaan Yogyakarta dengan kontribusi menciptakan pra kondisi menuju ‘ manusia yang utama’ (jalma kang utama) sebagai aktor utama dalam membentuk peradaban baru.
Pergeseran Pusat Peradaban
Dewasa ini, ada tanda-tanda lahirnya Abad Pasifik yang membawa pergeseran pusat gravitasi dunia dari Atlantik ke Pasifik. Banyak tokoh yang memprediksikan pergeseran itu, misalnya Nakasone, Toynbee serta Spengler, Roosevelt, Anwar Ibrahim serta Bung Karno.
Tahun 1974, Overholt meramal kebangkitan Pasific dari perspektif sejarah. Tentang sejarah, beberapa kawasan bergantian menjadi pusat dinamika ekonomi dunia dari China, Timur Tengah, Mediterania, Inggris, Laut Utara hingga Atlantik Utara.
Krisis finansial di Eropa dan maraknya ‘Arab Spring’ di Timur Tengah mendukung tren perubahan geopolitik yang menggeser pusat peradaban dari Barat ke Timur. Gelombang demokrasi telah terjadi di Tunisia, Mesir, Libya, Bahrain dan kini tengah berlangsung di Suriah. Fenomena itu menimbulkan destabilisasi politik, ekonomi dan sosial di Eropa dan Timur Tengah.
Krisis global itu mengakibatkan demistifikasi global atas kompetensi Barat. Implikasinya, Barat harus secara tegas meninggalkan kapitalisme pasar tanpa kekang, yang menjadi ciri dekade ini. Memang, masih terlalu pagi untuk memprediksi apakah ini penolakan sementara, ataukah perubana arah signifikan dalam jangka panjang.
Trend serupa juga terjadi di dunia spiritualitas, ‘Barat berkiblat ke Timur’, yang diyakini, spiritualitas Timur bisa mengatasi krisis spiritual Barat sebagai reaksi balik atas dosa-dosa sains, kapitalisme, imperialisme yang eksploitatif atas manusia, lingkungan dan masyarakat.
Dulu, bangkitnya Barat mengubah dunia. Tetapi sekarang, Barat menjadi bagian dari solusi sekaligus masalah. Bangkitnya Timur sekarang akan membawa perubahan signifikan serupa.
BRICS dan Peran Indonesia
Kebangikitan Timur juga ditandai kekuatan ekonomi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) yang berperan dalam ekonomi global. Kita menunggu bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS untuk memperkuat dunia Timur, yang akan membawa perubahan lanskape internasional.
Beberapa ahli Barat menangkap implikasi atas perubahan itu. Pertama, akan mencapai titk akhir era dominasi Barat, tetapi bukan akhir Barat, yang tetap seabgai kekuatan peradaban besar untuk beberapa dekade ke depan. Kedua, kita akan menyaksikan renaisans Asia yang menakjubkan, yakni derap langkah ‘Asia Menuju Modernitas’ (Asian march to modernity).
Sekarang, ekonomi terbesar kedua dan ketiga berada di Asia, China dan Jepang. Jika pada 2012, prediksi IMF terbukti, China menjadi negara adidaya ekonomi terbesar, hal ini mengukuhkan pergeseran gravitasi ekonomi global dari Barat ke Timur.
Putar Kemudi ke Visi Maritim
Majapahit sebagai negara maritim utama, pernah memiliki armada maritim 2.800 perahu, melebihi jumlah rata-rata kapal dalam satu ekspedisi yang hanya 100 perahu, juga lebih besar daripada Makassar yang memiliki 200 perahu.
Dalam transkrip Marcopolo, ketika tahun 1271 ia ke Sumatera, walau tidak ke Jawa, ia menulis,”Pulau Jawa itu kaya sekali.” Negarakertagama menceritakan: Ada 98 tempat di nusantara yang membayar pajak kepada Majapahit, termasuk 16 di semenanjung Melayu, Pahang, Langkawi, Kelantan, Trengganu, Tumasik (Singapura), Kelang serta Kedah.
Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik menggambarkan kekuatan maritim Nusantara pernah berpendaran damai ke Utara. Tetapi arus zaman berbalik, saat kekuasaan laut menjadi kekuasaan darat di pedalaman, kemuliaan menukik dalam kemerosotan,kejayaan berubah ke kekalahan, kecemerlangan cendekia menjadi kemandegan penalaran, kesatuan menjadi perpecahan.
Mundur bukan dalam arti geografis saja tetapi mundur ke pedalaman diri sendiri, ke pedalaman nurani dan kenalurian yang mengganti nalar rasional.
Bertolak dari refleksi sejarah itu, kita harus meneguhkan kembali jati diri bangsa sebagai penghuni negara Maritim, beranjak dengan visi dan strategi cerdas keluar dari paradigma agraris tradisional ke paradigma maritim raisonal berwawasan global, memutar kemudi ke arah visi negara maritim.
Arus Balik itu yang harus menjadi motivasi membangun peradaban baru unggul yang menghasilkan ‘manusia Indonesia yang utama’, yang berasaskan Ketuhanan, rasa kemanusiaan dan rasa keadilan’, dengan mengandalkan modal dasar ‘kebudayaan dan pendidikan’.
Dari ‘Among Tani’ke ‘Dagang Layar’
Mengikuti trend pergeseran peradaban ke Timur, Yogyakarta dalam membangun peradaban barunya yang unggul juga dengan strategi budaya: membalik paradigma ‘among tani’ menjadi ‘dagang layar’. Dari pembangunan berbasis daratan ke kemaritiman. Konsekuensinya, Laut Selatan bukan lagi ditempatkan sebagai halaman belakang, tetapi justru dijadikan halaman depan.
Perubahan paradigmatis ini paralel, bahkan terdukung oleh kebijakan ekonomi nasional dengan ditempatkannya wilayah Kulonprogo dalam program MP3I (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia0 berupa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), termasuk dalam ‘Koridor Delapan’ seluas 3500-3700 ha.
Konsekuensinya, perlu melakukan kaji ulang terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara komprehensif, menyeluruh dan lengkap, dengan menempatkan Jawa bagian selatan untuk penyebaran pertumbuhan.
Mengalihkan pusat pertumbuhan ekonomi dari wilayah Panturea ke Pantai Selatan dengan berkembangnya klaster-klaster industri kecil dan agribisnis di pedesaan, serta industri kelautan, perikanan dan pariwisata maritim, yang didukung infrastruktur jalan selatan-selatan, menjadi pilihan strategis yang harus diwujudkan.
Renaisans Yogyakarta
Renaisans atau pembangkitan kembali budaya lama digunakan sebagai strategi kebudayaan untuk membangun peradaban baru Yogyakarta. Dengan mengadopsi Renaisans Eropa, mengadaptasi Renaisans Asia dan menyempurnakan Renaisans Jawa, Renaisans Yogyakarta diawali dengan menggali, mengkaji dan mengembangkan sumber-sumber ilmu pengetahuan canggih yang menghasilkan candi Borobudur dan Prambanan.
Bersamaan dengan itu, mencermati karya-karya susastra, seperti Serat Pararaton, Negarakertagama, Centhini, Wedhatama, Wulangreh. Dengan cara itu, selain guna memperkaya nilai-nilai filosofis yang mengajarkan kebajikan bagi bangsa, juga mencerahkan nalar,agar tercipta kondisi kondusif, berkembangnya seni dan sains seperti sejarah Renaisans Eropa.
Tetapi, keberhasilan membangun Borobudur itu, tidak dengan sendirinya menghadirkan wawasan kreatif tentang arsitektur dan teknologi bangunan canggih di masa kini.
Bangsa yang pernah membangun Borobudur, dapat menciptakan ‘Borobudur-Borobudur’ baru, atau historiografi setaraf Pararaton dan Negarakertagama, ensiklopedi selengkap Babad Tanah Jawa, atau pitutur luhur sekelas Wedhatama dan Wulangreh, selama bangsa ini tekun membuka diri terhadap sains dan teknologi baru, beradaptasi dengan kemajuan zaman.
Saat ini Yogyakarta menjadi pusat seni lukis dan patung di Asia Tenggara, yang menandai kebangkitan seni, seperti dulu Renaisans Eropa. Jika melihat Biennale Yogyakarta, seakan mengikuti jejak Michelangelo dengan karya masterpiecenya patung Pieta yang mengawali zaman Renaisans Eropa. Di Yogyakarta, kita temukan karya-karya patung terbesar di berbagai ruang publik yang ‘mengejutkan’ khalayak, sekaligus dinikmati pendatang.
Renaisans Yogyakarta yang dipayungi filosofi hamemayu hayuning bawana, dihidupi semangat gotong royong yang mengacu konsep manunggaling kawula-gusti dan golong gilig, diekspresikan oleh sikap satriya: sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh, memberikan vitalitas dan ruh baru dari pergeseran peradaban yang bergerak menuju ke Timur.
Strategi Renaisans Yogyakarta
Untuk mencapai visi 2017 dan misi tahun 2012-2017 melalui Renaisans Yogyakarta itu, adalah dengan mengembalikan nilai-nilai keluhuran, keutamaan dan jati diri berbangsa yang kini tidak lagi menjadi penuntun gerak bernegara, gerak pemimpin dan kerja birokrasi, serta gerak kehidupan seluruh elemen bangsa untuk menuju Indonesia yang bermartabat.
Arah Renaisans Yogyakarta
Arah Renaisans Yogyakarta dipayunhi kebijakan pembangunan kebudayaan dalam arti luas, sekaligus menjadikannya arus utama pembangunan. Riset global oleh Harvard Academy for International and Area Studies tahun 1990-an menguatkan bahwa, “Budaya menentukan kemajuan dari setiap masyarakat, negara, bangsa di seluruh dunia, baik di tinjau dari sisi politik, sosial, maupun ekonomi.
Budaya adalah strategi bertahan hidup (surviving) dan menang (wining), dan itulah takaran menilai tinggi rendahnya budaya. Yogyakarta memiliki budaya gotong royong, tepa salira, dan banyak karya susastra tinggi, yang menjadikannya daerah yang memiliki budaya tinggi (high culture).
Budaya tinggi tersebut hendaknya di-wiradat dan di upgrade menjadi budaya unggul yang berdaya saing di persaingan budaya global. Transformasi kultural yang diperlukan adalah memahami nilai-nilai dasar keunggulan global, yaitu saling percaya dan kultur managemen.
Menurut Francis Fukuyama, keunggulan Amerika bukan oleh teknologi atau uang, tapi karena memiliki social capital, yaitu trust. Menurut Peter F. Drucker, hanya manajemen yang memungkinkan organisasi mampu bekerjasa dan menciptakan nilai tambah.
Untuk itu bangsa kita harus menumbuhkan kultur keunggulan (culture of excellence) di semua bidang kehidupan. Manusia-manusia unggul demikianlahyang menghasilkan kitab Sutasoma, Negarakertagama, Serat Centhini, candi Borobudur atau pilar Sosrobahu di masa kini.
Bagaimana jika sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh itu dikupas lebih mendalam, sehingga menjadi bukan saja etika dan estetika tari, tetapi juga etos kerja, yang sekarang menjadi masalah dalam manajemen dan pembangunan kita?
Renaisans Kebudayaan hendaknya memanfaatkan tren pergeseran pusat peradaban ke timur, dengan menjadikan Yogyakarta laboratorium pengembangan budaya-budaya etnik nusantara utnuk penguatan ke-Indonesia-an kita. Melalui Renaisans Kebudayaan itulah yang mengantarkan “Yogyakarta Menyongsong Peradaban Baru”.